Jangan Tawar Lagi "Mandailing Bukan Batak"
Website Nasty Jumpa lagi dalam postingan yang mungkin sangat anda perlukan,
Silahkan baca infonya dibawah ini.
Mandailing bukan bagian dari Batak. Batak adalah istilah atau
pelabelan oleh orang asing, khususnya Belanda. Perbantahan etnik Mandailing
untuk dikelompokkan dalam etnik Batak telah berlangsung lebih dari 100 tahun.
Hal itu mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk
Mandailing bukan Batak yang berlangsung di VIP Restoran Hotel Madani, Senin
(23/10) kemarin.
Hadir dalam FGD, peneliti dan sejarawan Dr Phil Ichwan Azhari,
antropolog Prof Usman Pelly, dan juga peneliti Pussis Universitas Negeri Medan
(UNIMED), Dr. Erron Damanik serta puluhan peserta dari berbagai kalangan.
Hadir juga kalangan wartawan.
Antropolog Usman Pelly mengungkapkan, tidak ada satu pun kata
Batak yang bisa ditemukan dalam khasanah atau pun manuskrip kuno baik, dari
khasanah Toba, Angkola, Karo, Pakpak, Simalungun apalagi Mandailing.
"Misalnya dalam stempel Raja Sisingamangaraja XII hanya
tertulis Ahu Si Raja Toba, tidak ada si Raja Batak. Batak tidak ada dalam
khasanah pustaka baik Toba, Angkola, apalagi Mandailing," kata Usman Pelly,
ditulis Analisadaily.com,
Selasa (24/10)
Hal ini menurut Usman, adalah pendapat akademis. Bukan pendapat
untuk memecah belah persatuan apalagi pendapat dalam konteks kepentingan
politik elektoral.
Sejarawan Ichwan Azhari mengungkapkan, berdasarkan banyak
literatur, Batak digunakan para peneliti asing untuk menunjukkan lokasi
geografis masyarakat. Batak digunakan untuk mendeskripsikan masyarakat yang
mendiami wilayah hinterland atau dataran tinggi. Sedangkan masyarakat pesisir
diidentikan dengan Melayu.
Istilah Batak awalnya digunakan peneliti asing untuk menyebut
masyarakat tak beradab, atau istilah yang tidak diinginkan, lalu bergeser
menjadi istilah untuk menggambarkan masyarakat di pegunungan, kemudian
berproses menjadi identitas dan kebanggaan.
Identitas ini kemudian mendapat perbantahan utamanya dari
masyarakat Mandailing.
Mandailing menolak disebut sebagai Batak. "Tidak
ada yang konsisten menolak Batak selain Mandailing," kata Ichwan.
Batak menurut Ichwan, muncul karena adanya penulis yang setuju penggunaan
istilah Batak untuk menggambarkan etnik-etnik yang ada mulai dari Mandailing,
Toba, Angkola, Karo, Pakpak hingga Simalungun.
Kondisi itu diperparah dengan minimnya riset yang dilakukan.
Riset-riset selama ini justru didominasi oleh peneliti asing. "Untuk bisa
melawan itu, sebanyak mungkin bisa menulis melakukan riset-riset,
kegelisahan-kegelisahan ini bisa melahirkan kajian-kajian," ungkapnya.
Peneliti Erron Damanik secara rinci menegaskan, dijadikan enam
etnis menjadi sub etnik dalam batak dimulai dari Payung Bangun. Payung kemudian
menginspirasi antropolog Koentjaraningrat yang menulis buku "Manusia dan
Kebudayaan" kemudian menjadi referensi.
Dalam salah satu bab buku tersebut, ada bab yang menjelaskan Batak
dan memasukkan Mandailing, Toba, Angkola, Karo, Pakpak hingga Simalungun
kedalam Batak. "Marsden menolak itu tidak homogen," katanya.
Dikatakannya, Mandailing telah menolak disebut Batak sejak 1922,
Karo menolak disebut Batak sejak 1952, Simalungun menolak disebut Batak sejak
1963, lalu Pakpak menolak disebut Batak sejak 1964, juga Nias menolak disebut
Batak sejak 1952, namun Toba dan Angkola tetap kukuh menerima disebut Batak.
Mengutip Vinner (1980) perbedaan mendasar dari kelompok etnik yang
disatukan adalah bahasa. Keenam etnik tersebut memiliki perbedaan bahasa yang
mencolok. "Tidak ada yang disebut Batak, yang ada adalah Mandailing, Toba,
Pakpak, Karo, Simalungun dan Angkola. Batak adalah ahistoris," tegasnya.
Demikianlah postingan ini, jika menurut Anda Bermanfaat silahkan
SHARE, Terimakasih
0 Response to "Jangan Tawar Lagi "Mandailing Bukan Batak""
Post a Comment
Silahkan Berkomentar dengan Jelas dan Sopan